Kenaikan PPN Jadi 12%: Tantangan Baru bagi Kelas Menengah Indonesia

Kenaikan PPN Jadi 12%: Tantangan Baru bagi Kelas Menengah Indonesia

Magelang Pos – Kabar mengejutkan datang bagi masyarakat kelas menengah Indonesia, yang harus bersiap menghadapi kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang direncanakan berlaku mulai 1 Januari 2025. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN akan naik menjadi 12 persen. Kenaikan ini menjadi isu yang mengundang perhatian luas, mengingat pada April 2022 lalu masyarakat telah terbebani dengan kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen.

Keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif PPN ini langsung mendapatkan reaksi keras dari masyarakat, khususnya di media sosial. Banyak warganet yang mengekspresikan ketidaksetujuannya dengan memposting gambar ‘Garuda Biru’ dan tulisan peringatan darurat, yang mencerminkan kekhawatiran terhadap kebijakan tersebut. Foto-foto yang diunggah di media sosial oleh akun @lambe_turah, misalnya, menampilkan berbagai kritikan keras terhadap rencana kenaikan PPN. Salah satunya adalah gambar yang menunjukkan tangan seseorang yang memegang kertas bertuliskan “menarik pajak tanpa timbal balik untuk rakyat adalah sebuah kejahatan. Jangan minta pajak besar kalau belum becus melayani rakyat. Tolak PPN 12%”. Pesan ini mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap kurangnya pelayanan pemerintah meskipun mereka terus dibebani dengan pajak yang lebih tinggi.

Tak hanya itu, cuitan dari akun @YayasanLBHIndonesia juga menambah keramaian di media sosial. Mereka menyoroti bahwa kenaikan PPN 12 persen hanya akan diterima oleh masyarakat jika pemerintah dapat membuktikan tidak ada lagi praktik korupsi di dalamnya. “PPN 12% oke sih, kalau pemerintahnya 1. Nggak korupsi, 2. Lanjutin di kolom reply yaaa…” tulis mereka dalam sebuah status. Pendapat serupa juga datang dari anggota DPR, Mulyanto, yang dalam salah satu cuitannya mengajak pemerintah untuk menunda kenaikan PPN 12 persen. Menurutnya, kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih belum stabil, dengan banyak sektor yang masih terdampak pandemi, PHK massal, dan menurunnya daya beli masyarakat. Ia khawatir, kenaikan PPN ini akan membuat masyarakat kelas menengah semakin terpuruk.

Cuitan lain dari @Syafruddin Azhar juga menunjukkan penolakan yang kuat terhadap kebijakan ini. “Tolak pajak PPN 12%” menjadi seruan yang ramai disebarkan di media sosial, disusul dengan ajakan untuk memperjuangkan kebijakan ini meskipun parlemen terkesan tidak memperhatikan aspirasi rakyat. Tagar #TolakPPN12Persen pun menjadi trending di kalangan warganet, menandakan betapa luasnya penolakan terhadap kebijakan tersebut.

Dampak dari kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen jelas menjadi perhatian bagi masyarakat kelas menengah. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari fraksi PKB, Chusnunia Chalim, memperingatkan pemerintah agar menunda penerapan kenaikan PPN tersebut. Ia menyampaikan bahwa kenaikan PPN ini hanya akan semakin memberatkan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. “Terlebih lagi daya beli masyarakat sedang menurun, ini tidak pas,” tegasnya.

Chusnunia juga menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN 12 persen dapat berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Harga barang dan jasa yang semakin mahal akan membuat masyarakat semakin enggan untuk mengeluarkan uang. “Sudah pasti masyarakat semakin eman-eman untuk mengeluarkan duitnya untuk belanja. Pajak yang naik ini biasanya akan mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa,” ujarnya. Akibatnya, belanja konsumen akan berkurang, yang pada gilirannya dapat memperburuk kondisi perekonomian, terutama bagi masyarakat kelas menengah yang tengah bergulat dengan penurunan daya beli.

Peningkatan tarif PPN ini diperkirakan akan semakin mempersulit ekonomi keluarga kelas menengah, yang selama ini sudah merasakan tekanan akibat inflasi dan ketidakpastian ekonomi. Jika kebijakan ini tetap dilaksanakan, maka dampaknya akan sangat terasa bagi masyarakat, terutama dalam hal pengeluaran sehari-hari. Selain itu, sektor-sektor yang selama ini bergantung pada konsumsi domestik, seperti perdagangan ritel, transportasi, dan jasa, juga akan merasakan dampaknya. Dengan meningkatnya biaya hidup, masyarakat akan semakin kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, dan konsumsi rumah tangga yang menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi akan tertekan.

Kebijakan ini jelas menjadi ujian besar bagi pemerintah Indonesia, yang harus menyeimbangkan antara peningkatan pendapatan negara melalui pajak dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Jika tidak ditangani dengan bijak, kebijakan ini dapat memperburuk kesenjangan ekonomi dan memperlebar jurang antara kelas atas dan kelas menengah, yang saat ini sedang berjuang untuk bertahan dalam kondisi ekonomi yang sulit.

Recommended For You

About the Author: admin 2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *