
Magelang Pos – Pemeriksaan terhadap mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, dalam kasus dugaan penyebaran informasi bohong atau hoaks serta pencemaran nama baik, telah memicu kontroversi di berbagai kalangan. Amnesty International Indonesia (AII) menyerukan agar Polresta Tangerang menghentikan proses hukum terkait laporan yang diajukan oleh Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Tangerang, Maskota. Laporan ini muncul setelah Said Didu mengkritik Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
Kapolresta Tangerang, Kombes Pol Baktiar Joko Mujiono, menegaskan bahwa pihaknya akan tetap menjalankan proses penyelidikan secara objektif, sembari melindungi hak pelapor. Ia menjelaskan bahwa penanganan kasus ini dilakukan dengan hati-hati agar semua pihak mendapat keadilan. “Kita tetap harus melindungi hak pelapor, kita tidak bisa bertindak sepihak,” ujar Baktiar pada Rabu (20/11).
Ia juga menekankan pentingnya penyelidikan yang mendalam untuk mengungkap fakta terkait polemik yang berkembang. Proses penyidikan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk saksi ahli, untuk memberikan pandangan yang komprehensif. “Kami harapkan penyidikan ini bisa berjalan dengan baik dan menghasilkan keterangan yang objektif sesuai fakta,” tambahnya.
Baktiar menjelaskan bahwa pemeriksaan terhadap Said Didu dilakukan berdasarkan laporan Maskota yang menyebutkan adanya ketidaksesuaian antara narasi Said Didu di media sosial dan fakta di lapangan terkait proyek PIK 2. Laporan tersebut menuduh Said Didu menyebarkan informasi yang tidak benar, sehingga mencemarkan nama baik pihak-pihak tertentu. “Menurut pelapor, apa yang disampaikan Pak Said Didu tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada di lapangan,” kata Baktiar.
Proses pemeriksaan terhadap Said Didu berlangsung selama enam jam pada Selasa (19/11). Dalam pemeriksaan yang dimulai pukul 13.00 WIB dan berakhir pukul 18.00 WIB tersebut, Said Didu dicecar dengan 25 pertanyaan oleh penyidik. Pertanyaan-pertanyaan itu, menurut Said Didu, berfokus pada substansi laporan yang diajukan terhadapnya. “Pertanyaannya terkait substansi yang dilaporkan. Saya menjelaskan berdasarkan kompetensi saya dan analisis publik, itu adalah hal yang biasa,” ujar Said Didu usai pemeriksaan.
Kasus ini didasarkan pada dugaan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penyebaran berita bohong dan pencemaran nama baik. Jika terbukti bersalah, Said Didu menghadapi ancaman hukuman berat sesuai pasal-pasal yang dilaporkan.
Meski begitu, Amnesty International Indonesia menilai bahwa laporan terhadap Said Didu merupakan bentuk pembatasan kebebasan berekspresi. Mereka berpendapat bahwa kritik terhadap proyek publik adalah bagian dari hak warga negara untuk menyampaikan pendapat. Oleh karena itu, Amnesty International menyerukan agar kasus ini tidak dilanjutkan demi menjamin kebebasan berbicara.
Situasi ini menyoroti kembali perdebatan tentang penerapan UU ITE di Indonesia, yang sering kali dianggap digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau proyek-proyek yang melibatkan kepentingan publik. Polemik ini membuka ruang diskusi lebih luas tentang batasan kebebasan berekspresi dan perlunya penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif.
Sementara itu, Kapolresta Tangerang memastikan bahwa pihaknya akan bekerja secara profesional dalam menyelesaikan kasus ini. Dengan melibatkan berbagai saksi dan ahli, ia berharap penyelidikan dapat memberikan gambaran yang jelas dan menghasilkan keputusan berdasarkan fakta yang obyektif. “Kami ingin kasus ini berjalan transparan dan tidak menyisakan keraguan di masyarakat,” tutup Baktiar.